Kamis, 24 Maret 2011

..Ketika Aku Jatuh Cinta..

Suatu hari Fatimah binti Rasulullah Saw, berkata kepada Ali r.a, suaminya.

“Wahai kekasihku, sesunguhnya aku pernah menyukai seorang pemuda ketika aku masih gadis dulu.”

“O ya,” tanggap sayidina Ali dengan wajah sedikit memerah. “Siapakah lelaki terhormat itu, dinda?”

“Lelaki itu adalah engkau, sayangku.” jawabnya sambil tersipu, membuat sayidina Ali tersenyum dan semakin mencintai isterinya.

Percakapan antara Fatimah r.a dengan Ali r.a di atas munkin cukup romantis bagi kita, mungkin hal ini sudah menjadi biasa bagi sepasang kekasih yang sudah terikat perjanjian pernikahan, tetapi bagi yang belum menikah, mungkin percakapan – percakpan romantis ini hanya di temukan di bacaan tentang pernikahan ataupun novel-novel saja. Percakapan yang romantis menjadi misteri yang terus menggelitik hati untuk menjadi hal yang membuat penasaran.

Alangkah bahagianya apabila misteri itu menjadi kenyataan bagi seorang pemuda yang sudah mendambakan sejak lama peristiwa tersebut, dan kemudian sampai pada terminal hati sebuah ikatan suci pernikahan. Sehingga pemuda itu bisa mengungkapkan apa yang ada di hatinya, yang selama ini disimpan kemudian di ungkapkan kepada istrinya.

Tetapi hal ini hanya menjadi hak milik bagi mereka yang sudah siap dan mampu untuk menjalani sebuah perjanjian yang berat, yaitu pernikahan. Kepada pemuda yang masih belum mampu, hanya menjadi misteri yang selalu menggoda.
Kadang-kadang ada pemuda yang tidak kuat untuk menahan perasaan itu, imajinasi itu terus menari-nari dan menggoda hatinya. Sehingga suatu ketika dorongan untuk mengungkapkan perasaan itu cukup besar, sangat dahsyat. Tetapi kepada siapakah persaan ini di ungkapkan? Istri belum punya, kekasihpun tidak ada. Kata pacaran sudah benar-benar di hapus di dalam masa remajanya. Terus kepada siapa..? padahal dorongan itu terus menggelora dengan dahsyatnya.
Hingga suatu ketika dalam sebuah rapat koordinasi atau ketika membahas tugas kuliah, ada sesuatu yang mempesona di balik sana. Peristiwa itu mempertemukan dua pesona, yang selama ini masing-masing sedang memancar dengan dahsyatnya. Dan imajinasi itu kembali menari-nari.
“Mungkin di balik hijabnya yang rapi itu, dialah gadis yang halus perasaanya, peduli kepada sesama. Nah..mungkin inilah yang kuimpikan selama ini..”
“Dibalik wajahnya yang kalem, terpancar ketegasan yang berwibawa ketika mengambil keputusan. Sosok ikhwan yang beginilah yang aku dambakan..”
Dan perasaan itu pun hadir dengan halusnya bersamaan dengan sering berinteraksi.
CINTA…
Lalu apakah perasaan ini harus diungkapakan, padahal untuk melakukan perjanjian suci itu sungguh berat dan banyak yang harus dipersiapkan oleh pribadi ini. Padahal gejolak rasa itu terus menggelora di dalam dada. Sehingga berbincang dengannya adalah sesuatu yang mengasyikkan, menerima sms nya adalah sesuatu yang di damba-dambakan, ketika berdiskusi dengannya timbul perasaan senang yang lain dari biasanya, berpisah denganya dalam koordinasi adalah sesuatu yang berat, ketidakhadirannya dalam pertemuan menimbulkan kekecewaan yang tidak sekedar kecewa antar staff atau antara ketua dan anggotanya.
Indah…
Tapi berbuah musibah..
Interaksi yang longgar antara ikhwan dan akhwat membawa mereka ke dalam dua dilema yang dari hari kehari semakin menekan dan membingungkan. Dilema… Perasaan itu sudah telanjur hadir dan semakin merasuk ke dalam hati, bagaikan virus ganas yang menginfeksi organ tubuh kita. Indah tetapi bermasalah. Maksud hati ingin menikah, tetapi sangat berat di lakukan karena belum punya kesiapan. Mau di tingggalkan, tetapi persaan semakin menekan, cinta terlanjur bersemi. Menunggu pernikahan, tetapi sehari terasa seperti bertahun-tahun. Terus menjalankan interaksi, tetapi hati semakin merasa bersalah.
Terus bagaimana solusinya…?? Ketika kita membahasnya dengan realita dan logika, maka akan memberikan pembahasan yang panjang dan hanya menimbulkan kebingungan saja. Tapi selayaknyalah kita berbicara atas dasar keimanan dan nurani, agar kita terhindar dari prasangka.
Tanyakanlah kepada nurani dan keimanan kita, kepada siapakah kita sewajibnya untuk jatuh cinta..? masih mampukan kita mempertahankan cinta kepada Rabb kita sebagai prioritas pertama ? atau cinta kepadanya sudah mulai mengeliminir rasa cinta abadi kepada-Nya.? Dengan kekuatan iman, cinta kepada Allah bisa mengeliminir cinta kepada seseorang yang telah menjauhkan dari keridhaan-Nya. Cinta macam apa yang menjauhkan diri dari keridhaan Allah? Untuk apa mempertahankan cinta yang akhirnya membuahkan benci Dzat yang sangat kita harapkan cinta-Nya?
Renungkanlah saudaraku dan jawablah dengan nuranimu..

2 komentar:

  1. Aku tak mau menjadi tuna cinta
    walau ia bersenandung
    Menyanyikanku hingga akan terbuai
    Biarlah tetap kupeluk erat agamaku
    Aku tak mau menjadi tuna cinta
    Bila ia katakan dewi amor bersamanya
    Tetap, tuntunan rasul bersamaku
    Meski syairnya bak pujangga
    Ayat-Nya yang lebih sempurna
    Namun, bila ini kehendakNya
    Biarlah pernikahan kan merestuinya
    Jika ini yang dinamakan cinta
    Biarlah bersemi karena Engkau
    Jika aku harus jatuh cinta
    Kirimkanlah dia yang benar-benar mencintaiMu
    Jika aku telah jatuh cinta
    Buatlah ini karenaMu
    Jika dia memang untukku
    Biarlah kami bertasbih hanya untukMu

    *Sebenarnya yang disebut cinta adalah dari sang pencipta ke yang dicipta. Bersyukurlah kawan, dan cintai Dia seperti Dia mencintaimu

    BalasHapus
  2. Ccckckc,,,hmmm...semoga jatuhcinta pada orang dan waktu yang tepat...

    BalasHapus