Kamis, 29 Januari 2009

Pemimpin Itu....(SMART Vision)


Suatu ketika, Abdullah bin Zubair, Mush’ab bin Umair, Urwah bin Zubair, dan Abdul Malik bin Marwan duduk bersama dalam satu majelis. Salah seorang dari mereka melontarkan pertanyaan, ”Mari kita ber-angan karena Allah, apa yang kalian inginkan?”

”Aku ingin memiliki wilayah Hijaz dan menjadi khalifah di atasnya,” kata Abdullah bin Zubair.

”Aku ingin menguasai wilayah Iraqain (Kufah dan Basrah),” kata Mush’ab bin Umair.

”Aku ingin memiliki seluruh bumi, dan menjadi khalifah setelah Mu’awiyah,” kata Abdul Malik bin Marwan.

”Aku ingin menjadi seorang yang alim, banyak beramal, menjadi rujukan manusia. Lalu aku unggul di akhirat dengan ridha Allah dan surga-Nya,” kata Urwah bin Zubair.

Pada akhirnya, Allah mewujudkan cita-cita keempat tokoh tersebut. Abdullah berhasil menguasai Hijaz dan diangkat menjadi khalifah. Mush’ab mampu menguasai Iraqain. Abdul Malik juga menjadi khalifah setelah Mu’awiyah dan Urwah menjadi ulama yang terkenal sebagai rujukan kaum Muslimin dalam mempelajari Al-Quran dan sunnah Rasul 1)*

Begitulah orang-orang besar hidup sukses berawal dari membangun mimpi. Cita-cita. Visi. Itulah yang mesti sobat miliki untuk menjadi sukses. Mereka dari awal sudah memetakan dengan tepat visi hidup mereka. Ada sebuah kalimat bijak, ”mimpi hari ini adalah kenyataan di hari esok”. Ya, kesuksesan pada masa depan dimulai dari membangun mimpi yang tepat pada saat ini.


Sama halnya dengan memimpin sebuah organisasi. Kesuksesan sobat sebagai pemimpin dimulai dari membangun visi yang tepat. Seperti apa? Ada lima syarat, yang terkenal dengan singkatan SMART. Artinya Spesific, Measurable, Achievable, Reasonable, dan Time-phased.

1. Spesific

Spesific artinya tertentu atau khusus. Jelas. Gamblang. Tidak kabur. Coba kita lihat bagaimana ke-empat tokoh di atas, Abdullah bin Zubair, Mush’ab bin Umair, Urwah bin Zubair, dan Abdul Malik bin Marwan, masing-masing memiliki cita-cita yang jelas. Mereka dengan gamblang menceritakan visi yang ingin dicapai dalam hidup mereka. Gambaran yang jelas mengenai visi menjadi salah satu faktor kunci yang akan menentukan konsistensi sobat ketika menghadapi masalah. Ingat kisah Abdullah bin Rawahah dalam perang Mu’tah di edisi kemarin!

Masing-masing juga menentukan visi hidup yang berbeda satu sama lain. Itulah makna dari ”khusus” di atas. Setiap kita biasanya memiliki ke-khas-an tersendiri dalam menentukan cita-cita. Visi yang sobat tentukan, jangan terpengaruh oleh orang lain. Meminta pertimbangan orang lain itu boleh, tapi bukan kemudian berarti kita tidak memiliki prinsip sehingga malah terombang-ambing. Akhirnya, malah tidak jelas lagi visinya. Oke?

Nah, dengan visi yang jelas dan khas, sobat akan lebih mudah dalam menentukan kebijakan-kebijakan organisasi. Seluruh kebijakan, aktivitas, dan kerja organisasi akan diarahkan pada bagaimana agar visi itu tercapai. Dalam hal ini, visi yang spesifik ibarat kompas bagi kapal. Bayangkan berjalan mengarungi lautan tanpa penunjuk arah! Gak kebayang deh...

2. Measurable

Yang kedua adalah measurable, artinya terukur. Maksudnya, sobat memiliki parameter-parameter yang jelas untuk mengukur tingkat keberhasilan sobat dalam mencapai visi sobat. Kita bisa melihat sukses tidaknya sobat dari parameter tersebut. Apa yang bisa sobat dapatkan dari pencapaian visi yang sobat rencanakan. Itu intinya.

Coba sobat perhatikan pernyataan Abdullah bin Zubair! Dia ingin memiliki wilayah Hijaz dan menjadi khalifah di atasnya. Parameter apa yang bisa dilihat? Ya, beliau baru akan merasa sukses jika tidak hanya memiliki Hijaz saja, tapi juga dengan menjadi khalifah di wilayah tersebut. “…………menjadi khalifah di atasnya”. Itulah kalimat yang nenunjukkan bahwa visi Abdullah bin Zubair adalah visi yang measurable.

Bagaimana dengan mengelola organisasi? Sama juga. Sobat harus memiliki ukuran-ukuran yang jelas untuk mengukur tingkat keberhasilan visi yang tercapai. Pada level-level mana organisasi tersebut dikatakan sukses atau gagal? Misalnya ada sebuah organisasi Rohis punya visi membentuk remaja yang berakhlak sholeh. Nah, akhlak sholeh seperti apa yang ingin dicapai? Perlu ukuran untuk menjelaskan level sholeh tersebut. Sobat harus miliki itu. Itulah inti dari visi yang measurable. Kemudian,…

3. Achievable

Achievable atau dapat dicapai. Tentukan pencapaiannya. Target yang ingin kita capai itu apa. Nah, target itu haruslah yang rasional. Yang seperti apa? Yang sobat dapat mencapainya. Bukan yang muluk-muluk. Hanya sekedar mimpi belaka tanpa pernah bisa terealisasi.

Kembali kita memperhatikan pernyataan Urwah bin Zubair di atas. Pada kalimat terakhir, beliau ingin menjadi manusia yang unggul di hadapan Allah SWT. Nah, bagaimana beliau bisa mencapainya? Jawabnya adalah dengan menjadi seorang yang alim, banyak beramal dan menjadi rujukan manusia dalam ilmu agama.

Sebagaimana Urwah bin Zubair, sobat harus bisa merinci, atau setidaknya memiliki gambaran, kira-kira untuk bisa mencapai visi tersebut apa yang mesti dilakukan. Cara apa yang mesti sobat rencanakan. Jalan mana yang mesti sobat lalui sehingga visi tercapai. Visi bisa dikatakan achievable adalah ketika visi itu memiliki skenario atau rencana bagaimana pencapaiannya.

Kalau sobat ternyata tidak tahu harus bagaiamana? Berpikir yang keras untuk mencari jalan. Kalau masih belum ketemu, masih bingung? Boleh jadi, visi sobat memang tidak memenuhi syarat achivable.

4. Reasonable

Reasonable itu bisa diartikan layak, pantas, dan masuk akal. Realistis. Sobat mesti menentukan visi yang layak, pantas dan masuk akal bagi sobat untuk mencapainya. Untuk itu mesti ada alasan yang menjadikan visi sobat realistis. Lagi-lagi, tidak muluk-muluk sehingga bisa tercapai. Kata seorang teman, tahu diri dikitlah…

Tapi itu bukan berarti kemudian kita terus pasang target rendah. Nggak gitu... Kita tetap menentukan cita-cita yang setinggi-tingginya, hanya catatannya mesti yang realistis. Istilah kerennya, kita tidak over-estimate tapi juga tidak under-estimate. Apa itu? Tanya mbak atau mas yang biasa ngisi kajian di musholla sekolah.

Jadi, visi yang reasonable adalah yang realistis. Yang sesuai dengan situasi dan kondisi kita. Kapasitas kita sangat menentukan realistis tidaknya visi yang kita buat. Tentang visi ke-empat tokoh di atas, adalah realiastis karena memang kapasitas mereka layak untuk memiliki obsesi setinggi itu.

Contoh visi yang tidak reasonable adalah organisasi RISMA yang punya visi membentuk generasi pelajar yang berprestasi. Letak ketidak-reasonable-annya di mana? Jelas di ”generasi pelajar”nya, karena RISMA adalah organisasi dengan anggota remaja masjid. Masa anggotanya remaja masjid, kok malah ngurus palajar. Nggak nyambung-kan?

5. Time-phased

Time-phased, ini artinya visi kita mesti memiliki frame waktu yang jelas. Memiliki tahapan-tahapan waktu dalam pencapaiannya. Maksudnya, ada kejelasan waktu kapan kita akan memulai, sampai target kapan visi tersebut harus tercapai. Semua kerja tersusun dalam urutan waktu pelaksanaan yang tertata. Ini akan membantu kita dalam mengukur sukses atau gagalnya pencapaian visi kita. Selain itu, terlambat tidaknya visi tercapai juga dapat dilihat.

Abdul Malik bin Marwan memiliki visi dengan time-phased yang jelas. Beliau ingin menjadi setelah Mu’awiyah. Di sini terlihat bahwa, time-phased tidak hanya melulu terpaku pada satuan waktu yang biasa kita kenal, misal tahun, bulan, umur, dsb. Tetapi yang ditekankan adalah pada urutan atau tahapan kerja dengan alokasi waktu masing-masing. Gitu…....

1)* Pustaka: Meraih Kekuatan dari yang Maha Kuat. M. Lili Nur Aulia. Pustaka Da’watuna. 2005


Selengkapnya...

Pemimpin itu...(Memimpin dengan Visi)

Rombongan besar pasukan Muslimin ekspedisi penaklukan Romawi telah berangkat. Sampai di suatu tempat yang dikenal dengan Ma’an, rombongan berhenti untuk istirahat. Di sana pasukan Muslimin mendengar kabar bahwa jumlah pasukan musuh (Romawi) jauh lebih besar. Tiga puluh ribu pasukan Muslimin akan berhadapan dengan 200 ribu tentara Romawi. Mengetahui kabar itu, seketika semangat sebagian pasukan Muslimin menurun. Muncul keraguan dan pesimisme. Dalam pada itu, muncul usulan untuk berkirim surat kepada Rasulullah dan menceritakan kekuatan lawan.
Mendengar itu, salah seorang komandan perang, Abdullah bin Rawahah segera berkata, “Demi Allah, apa yang kalian tak sukai justru merupakan tujuan kalian sebenarnya. Bukankah kalian menginginkan mati syahid? Kita memerangi musuh bukan karena mengandalkan jumlah, kekuatan, maupun banyaknya tentara. Kita memerangi meraka atas nama agama ini yang karenanya Allah memuliakan kita. Majulah! Kita pasti akan mendapatkan salah satu dari dua kebaikan. Menang atau syahid!”
Serentak pekik takbir bergema. Pasukan Muslimin bersepakat untuk meneruskan perjalanan ekspedisi. Sampai di suatu tempat yang bernama Mu’tah, pertempuran terjadi. Dan kemudian Allah menganugerahkan kemenangan bagi kaum Muslimin. Pasukan Romawi berhasil dipukul mundur, kembali ke negerinya.
Salah satu hikmah yang menarik dari penggalan kisah di atas adalah bagaimana kepiawaian Abdullah bin Rawahah sebagai salah satu pimpinan pasukan mengembalikan semangat perang yang mulai surut. Bagaimana dia, dengan kemampuan pidatonya, mampu membangun kembali optimisme pasukan Muslimin meski akanmenghadapi musuh yang jumlahnya jauh lebih besar. Jawabannya terletak pada visi.
Visi adalah cita-cita. Tujuan akhir. Mimpi yang ingin dicapai. Yang kemudian memberikan dorongan bagi kita untuk berusaha hingga mimpi itu tercapai. Dalam sebuah organisasi, visi adalah tujuan akhir yang akan memberikan jawaban untuk apa organisasi tersebut terbentuk, kemudian merencanakan dan menjalankan program kerjanya. Organisasi tanpa visi akan menjadi organisasi tanpa tujuan.
Kita ibaratkan suatu organisasi dengan sebuah kapal yang sedang melakukan perjalanan. Pelabuhan tujuan kapal berlabuh adalah analogi dengan visi bagi organisasi. Nah, nahkoda kapal ibarat pemimpin bagi organisasi dengan ABK adalah anak buahnya. Agar sampai pada tujuan, maka nahkoda dan ABK kapal harus tahu tujuan kemana kapal akan berlabuh. Jika suatu ketika, karena cuaca misalnya, kapal berbelok menuju ke arah yang salah, maka dengan mudah nahkoda dapat mengembalikan arah kapal tetap pada posisi yang benar. Nahkoda akan mengerahkan segenap ABK-nya untuk membuat kapal berjalan tetap megarah pada pelabuhan tujuan.
Visi menjadi penting ketika terjadi gejolah dalam organisasi. Seperti yang terjadi pada Abdullah bin Rawahah dan pasukannya. Ketika dia merasakan pasukannya mengalami lemah semangat, bukan karena jumlah pasukan musuh, tetapi sebenarnya karena pasukannya lupa dengan niat awal kenapa mereka harus berperang. Maka dengan segera ia mengingatkan seluruh pasukannya tentang tujuan awal kenapa mereka dikirim dalam ekspedisi ini. Ia dengan lantang menyampaikan bahwa visi pasukan adalah untuk meraih kemenangan atau menggapai syahid, maka jumlah pasukan musuh bukan alasan untuk mundur. Itulah arti penting sebuah visi bagi seorang pemimpin.
Jika sobat menjadi seorang pemimpin sebuah organisasi (OSIS, ROHIS, remaja masjid, dsb.) maka sobat harus memahami visi atau tujuan organisasi yang sobat pimpin. Agar sobat tidak kebingungan ketika harus menjalankan fungsi kepemimpinan dalam organisasi tersebut. Pemahamam tentang visi organisasi akan menentukan bagaimana sobat mengelola dan mengaturnya. Kebijakan-kebijakan yang sobat ambil sangat ditentukan oleh pemahaman sobat tentang visi organisasi. Visi akan menjadi bingkai dari semua yang terjadi dalam sebuah organisai.
Kinerja kepemimpinan sobat bisa dilihat dari pencapaian atas visi yang telah ditetapkan. Maka semua program kerja yang direncanakan harus mengacu pada bagaimana visi organisasi bisa tercapai. Misal, ada sebuah organisasi yang visinya adalah memiliki anggota yang berakhlak sholeh. Maka program kerja dan kebijakan sobat harus diarahkan pada bagaimana membuat anggota menjadi berakhlak sholeh semua.
Sobat sendiri harus memiliki visi memimpin. Pertanyaannya adalah visi seperti apa yang mestinya kita miliki? (bersambung)
Selengkapnya...